Monday, August 28, 2017

PRIMADONA PARA PENGEJAR LABA



http://izakiimuh.wordpress.com
http://sulastama.wordpress.com


Aneku lelendaya
Lembata Tana Luwu
Njairi amadago
Kupampa lindo mao
Mau bemaramba
Uepa i tananya
Rodomo ine papa
Kuode kupotowe
Lembata Tana Luwu

 Artinya:
 Selalu ku kenang
 Negeriku Tana Luwu
 Yang indah dan permai
 Selalu terbayang di mukaku
 Biar aku pergi jauh
 Selalu ku kenang jua
 Di sanalah tinggal ibu bapakku
 Yang selalu kurindukan
 Negeriku Tana Luwu
Aku adalah laki-laki asli blasteran Luwu-Enrekang, sering memutar sayup lagu yang diciptakan oleh NN tersebut, ketika lagi trenyuh ataupun teringat pada orang tua di perantauan. Bahkan, para sahabatku  diaspora dari seluruh nusantara yang telah bertahun-tahun bermukim di Luwu, juga tidak asing dengan lagu ini. Musik memiliki cita rasa universal yang kosmopolit melewati batas teritorial, suku, ras, bahkan agama sekalipun. Inilah yang oleh para filosof disebut dengan philosophia perennis (Schuon, 1975) yang menempatkan seluruh eksistensi di dunia ini, sebagai wujud yang berserak dari Realitas Mutlak.

Melalui perangkat Android, aku berselancar, menemukan tulisan dari salah seorang Blogger Tana Luwu, Sahrial Pirham, salam kenal Kanda!. Sebait kalimat menarik perhatianku… “Lalebbata sebagai sepotong sudut kota Bandung yang jatuh di Palopo”. Aku membuka laptop, otak memberikan instruksi jari-jariku menekan keybord, merangkai kata dalam kalimat tentang Palopo. Diakui atau tidak, pembangunan insfrastruktur kota Palopo saat ini mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Dasar pembangunan diletakkan oleh H.P.A. Tenriadjeng-Saruman di tahun 2003-2008, dilanjutkan H.P.A. Tenriadjeng-Rahmat Masri Bandaso pada tahun 2008-2013. Saat ini,  Palopo dipimpin duet Judas Amir-Ahmad Syarifuddin Daud sejak 2013 yang lalu, dan akan berakhir pada tahun 2018. Pada periode ini, pembangunan insfrastruktur menjadi nilai plus dalam meretas kesenjangan, juga memegang peranan penting sebagai salah satu roda penggerak pertumbuhan ekonomi. 

        Secara filosofis, ada dua situs yang menjadi dasar dan pilar pembangunan di kota ini. Pertama, Istana Kedatuan Luwu sebagai simbol kesuksesan politik adiluhung mengakomodasi kearifan lokal dan nilai luhur nenek moyang yang sudah ribuan tahun melegenda. Kearifan Lokal (Local Wisdom) oleh Quaritch Wales dimaknai sebagai produk budaya masa lalu yang patut dijadikan pegangan hidup. Meskipun lokal, tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap universal. Kedua, masjid Jami’ Tua simbol dari religiusitas masyarakat yang berdiri sejak tahun 1604 Masehi, menjadi ikon yang kerap disinggahi oleh wisatawan lokal maupun mancanegara. Kedua ikon inilah yang dirangkum dalam sepenggal kalimat filosofis oleh Allahuyarham Sanusi Dg. Matata dalam bukunya Luwu dalam RevolusiPatuppui ri ada’E, Pasandre’i ri Syara’E” maknanya, “tumpuannya adat istiadat, sandarannya sendi agama”.

      Infrastruktur, pelayanan publik, dan geliat ekonomi terletak dalam siklus tak terpisah. Infrastruktur yang dibangun massif dan kemudahan pelayanan publik, telah menggerakkan roda ekonomi warga Palopo, dan Diaspora dari seluruh penjuru nusantara. Setiap pagi, aku sempatkan Joging di sepanjang jalan Andi Djemma, menyusuri pendestrian yang nyaman untuk pejalan kaki. Tersaji kuliner pinggir jalan khas dari berbagai penjuru Indonesia. Di Tugu Adipura ada Coto Makassar, Warung
Pangkep, Warung Kapurung, Warung Minang, Gerobak Ketoprak Jakarta, dan Lontong Sayur Jawa Tengah. Di depan SMA Negeri 3 Palopo, beberapa gerobak penjual Bubur Ayam Bandung, nasi Kucing khas Jogja, gorengan, dan kuliner lainnya. Warga lokal dan para diaspora mengejar laba dari perdagangan kecil dan menengah. Dagangan mereka tak pernah sepi, bahkan beberapa diantaranya sudah menerapkan daftar antrian karena padatnya pembeli.

       Data statistik kota Palopo tahun 2016, terdapat 243 pedagang besar, 680 pedagang menengah, dan 5.930 pedagang kecil. Pergerakan ekonomi, dapat dilihat dari menjamurnya pedagang, retail, bahkan semua perusahaan pembiayaan tersedia. Indikator sederhana ini, adalah mata rantai dari semakin membaiknya infrastruktur, beririsan dengan pelayanan publik, dan berdampak pada peningkatan perekonomian warga kota ini. 

      Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2016 mencapai 6,48% dengan pendapatan perkapita 31,5 juta rupiah. Pedagang besar dan eceran menyumbang 22,05% kepada PDRB kota Palopo. Geliat ekonomi, berdampak pada penurunan angka kemiskinan. Data BPS menunjukkan, angka kemiskinan di kota Palopo tahun 2010 16.800 (11,25 %), 2011 sebanyak 15.300 (10.22 %), tahun 2012 sebanyak 14.900 (9,47), tahun 2013 sebanyak 15.500 (9,57 %), tahun 2014 sebanyak 14.590 (8,80 %). 




Keberhasilan pembangunan Palopo di semua bidang, dapat dilihat dari Human Development Index (HDI) yang mengukur harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar hidup. IPM digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah kota adalah kota yang maju,  berkembang atau  terbelakang. IPM juga mengukur pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup. Data BPS menunjukkan, IPM kota Palopo tahun 2010 (73,03); 2011 (74,02); 2012 (74.54); 2013 (75,02); 2014 (75.65); dan 2015 (76.27). Jika dilihat dari data tahun 2015, maka kota Palopo berada pada tiga besar peringkat IPM di Sulawesi Selatan setelah kota Makassar dan Pare-Pare. Last but not least, Kurusumange’ para pemimpinku, renungi pesan Tuhan dalam kerjamu “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu” (QS. At-Taubah: 105). (#BloggerTanaLuwu)

Palopo, 28 Agustus 2017

Muhammad Andi Sugandi, SE
 
      

No comments:

Post a Comment